Senin, 05 November 2012

kerusakan hutan



  
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang.
Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, cenderung kondisinya semakin menurun. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia.
Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang cukup luas dengan keaneka-ragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazillia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan RI tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari luas hutan dunia (Suhendang, 2002). Seiring dengan berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan kayu semakin meningkat, mendorong masyarakat baik secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan tidak memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hasil hutan tersebut biasanya dilakukan secara ilegal seperti melakukan pembalakan liar, perambahan, pencurian yang mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia tidak terkendali (laju kerusakan hutan Indonesia 2,8 juta hektar per tahun). Akibatnya, kerusakan hutan atau lingkungan tak terkendali tersebut mengakibatkan luas hutan semakin menurun, lahan kritis semakin bertambah, dan sering terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.
Kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada hutan alam tetapi juga telah terjadi pada hutan lindung. Padahal, hutan lindung memiliki fungsi yang spesifik terutama berkaitan dengan ketersediaan air. Air merupakan sumber kehidupan yang sangat penting terhadap keberlanjutan kehidupan bagi semua mahluk hidup. Hal ini seperti telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan lindung merupakan kawasan hutan karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah. Oleh karena itu, hutan lindung perlu perhatian yang serius dari semua pihak agar kelestariannya tetap terjamin.
Kerusakan hutan yang terus terjadi telah mengakibatkan malapetaka dan bencana yang menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit, seperti musibah kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan lain sebagainya. Hal ini tertentu merupakan tantangan bagi semua pihak untuk mencari akar permasalahan dan solusi pemecahannya.

















BAB II
Pembahasan

1.    Bentuk Kerusakan.
Ternyata dengan semakin tidak harmonisnya hubungan manusia dengan alam tumbuhan mengakibatkan keadaan lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun mundur secara ekologi. Padahal kestabilan kota secara ekologi sangat penting, sama pentingnya dengan nilai kestabilannya secara ekonomi. Oleh karena terganggunya kestabilan ekosistem perkotaan, maka alam menunjukkan reaksinya berupa: meningkatnya suhu udara, penurunan air tanah, banjir, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air berupa air minum berbau, mengandung logam berat, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO2, ozon, karbon-dioksida, oksida nitrogen dan belerang, debu, suasana yang gersang, monoton, bising dan kotor.
Dalam waktu dua tahun terakhir kita merasakan peristiwa alam, seperti bencana banjir dan longsor. Diawali banjir bandang di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, pada 11 Desember 2002. Tak kurang dari 26 orang meninggal dunia dengan tragis. Di awal tahun 2003, banjir bandang Jakarta mengakibatkan beberapa penduduk tewas, puluhan ribu masyarakat harus mengungsi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Akibat ikutan lain, adanya banjir di Jakarta ini melumpuhkan kegiatan sektor swasta, termasuk pengiriman barang-barang ekspor mereka.
Di Mandalawangi, Garut, Jawa Barat pada tanggal 28 Januari 2003 telah terjadi tanah longsor dengan jumlah korban meninggal 21 orang. Memasuki akhir musim penghujan tahun 2002/2003 dikejutkan dengan peristiwa hujan lebat dan longsor di Flores, yang kemudian disusul peristiwa alam yang didominasi oleh kekeringan di Pantura Pulau Jawa. Pada akhir 2003 terjadi bencana banjir bandang yang sangat dahsyat di Bukit Lawang; Bahorok, Sumatera Utara pada tanggal 2 November 2003 yang membawa korban tidak kurang dari 134 orang meninggal serta ratusan lainnya hilang. Pada Desember 2003 beberapa wilayah Jambi terendam banjir sampai sekitar seminggu. Yang terakhir adalah peristiwa banjir besar di kota Mojokerto 4-5 Februari 2004.
Peristiwa alam dan lingkungan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa alam sedang bergolak menuju keseimbangan baru. Kondisi ini akan terus bergerak menyesuaikan diri terhadap intervensi manusia yang tidak pernah berhenti mempengaruhinya, serta kemungkinan perubahan alam itu sendiri yang perlu dicermati. Proses alam dalam menuju keseimbangan baru ini sering kurang bisa ditangkap maknanya oleh manusia, sebaliknya manusia seringkali saling menyalahkan bukannya mencari solusi yang arif.
Bencana alam, seperti banjir, yang terjadi pada tahun 2003 dan yang berlanjut sampai awal tahun 2004 kalau ditelusuri disebabkan oleh dua kelompok faktor yakni faktor yang tidak dapat dikendalikan manusia dan faktor yang dapat dikendalikan manusia. Curah hujan kecepatan angin, dan geologi merupakan contoh faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia.
Penelusuran faktor-faktor yang berpengaruh pada peristiwa alam yang menimbulkan bencana dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ada faktor alamiah yang tidak bisa dikendalikan manusia, tetapi juga banyak faktor yang sebetulnya berasal dari intervensi manusia, termasuk arah kebijakan yang tidak tepat. Curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, angin kencang, gempa bumi, dan letusan gunung berapi merupakan contoh-contoh faktor alam yang tidak bisa dikendalikan manusia. Sedangkan masalah invasi spesies eksotik, illegal logging di kawasan hutan, pemukiman, dan budidaya pertanian di lereng gunung merupakan bentuk intervensi yang sebetulnya dapat dikendalikan manusia. Semua itu berpengaruh besar terhadap peristiwa banjir bandang dan tanah longsor. Antara faktor alam dan
faktor manusia sangat sulit dipisahkan karena adanya interaksi timbal balik dalam suatu ekosistem .
2.    Kondisi Kerusakan Hutan.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai, saat ini hutan Indonesia berada dalam kondisi kritis karena luasnya terus menyusut setiap tahun.

Pertumbuhan investasi mengakibatkan meningkatnya kebutuhan tanah dan hal itu mengancam keberadaan hutan yang ada saat ini, kata Direktur Eksekutif Walhi Abednego Tarigan di Padang, Minggu.Ia menyampaikan hal itu saat tampil sebagai pembicara pada dialog interaktif dalam acara Green Radio di Radio Republik Indonesia (RRI) dalam rangka memperingati Hari Bumi.

Abet mengatakan terjadi dilema antara keinginan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dengan upaya tetap mempertahankan keberadaan hutan.Setiap tahun diperkirakan terjadi penyusutan untuk pembukaan lahan sawit mencapai satu juta hektare diluar pertambangan, hutan tanaman industri, perumahan dan lainnya, katanya.

Menurutnya, daerah yang terparah mengalami kerusakan hutan umumnya daerah berbasis kepulauan seperti Bangka Belitung dan Jambi Sementara kemampuan masyarakat sipil untuk melakukan penyadaran, pemahaman dan upaya penghijauan kembali dibandingkan laju kerusakan hutan yang terjadi tidak seimbang.Ia menilai, saat ini pemerintah masih menjadikan pertumbuhan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam menjadi kebijakan utama dibandingkan upaya menjaga kelestarian alam

Hal ini merupakan suatu tantangan dan persoalan serius yang harus dihadapi karena semua saat ini bergerak menjadi usaha industri skala besar, kata dia.Kemudian, jika kondisi kerusakan hutan semakin parah maka biaya yang dikeluarkan setiap hari semakin besar seperti biaya ekonomi, sosial dan lainnya.

Pada bagian lain, saat ini kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap hutan sudah cukup baik dengan semakin maraknya gerakan penanaman pohon.Namun yang perlu diperhatikan adalah keanekaragaman hayati agar pohon yang ditanam tidak hanya satu jenis dan perlu ditanam dari berbagai jenis.

Ia menambahkan, upaya sadar lingkungan yang sudah mulai berkembang jangan sampai terjebak dalam upaya seremonial dan harus didukung kebijakan pemerintah untuk melindungi hutan

3.    Dampak Kerusakan Hutan.
Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar di bumi:



1.Efek Rumah Kaca (Green house effect).
Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali kepermukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau
perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering.

2.Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi.

3.Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh
tahun terakhir ini.


4.Merugikan Keuangan Negara.
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia.

5.Banjir.
Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir.
Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawatimur dan Jawa tengah adalah contoh nyata.

4.    Cara mengatasi kerusakan hutan.
a. Masyarakat harus sadar akan dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan.
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan dan tidak melakukan . penebangan hutan.
c. Melakukan tindakan yang memotivasi warga untuk bertanggung jawab terhadap . lingkungan hidup.
d. Menetapkan peraturan-peraturan tentang yang mengatur penebangan hutan.
e. Mengadakan pengawasan,pengendalian, dan pengelolaan hutan.
f. Mengeluarkan Undang-undang tentang lingkungan hidup. Misalnya Undang-undang
No.4 tahun 1982 tentang pokok-pokok pengelolaan Lingkungan hidup.

5.    Cara mencegah kerusakan hutan.
Ada banyak hal yang dpat kita lakukan untuk mencegah perusakan terhadap alam, di antaranya:
·         Menghemat pemakaian kertas dan pelastik.
·         Menghemat penggunaan energi(minyak, listrik,dll).
·         Menghemat dalam menggunakan air tanah.
·         Selalu melakukan penghijauan.
·         Menggunakan energi alternatif(jika ada).
·         Tidak membuang sampah sembarangan.
·         Selalu menjaga kelestarian lingkungan.
·         Selalu menjaga dan mencegah alam dari perusakan.
·         Selalu menggunakan prinsip 4R(Reduce, Reuse, Recycle, Repair).
·         Selalu menghargai alam, karena itu merupakan ciptaan Allah SWT.

6.    Solusi
Pengelolaan hutan yang selama ini sentralistik dinilai kurang efektif menjawab persoalan pengelolaan hutan di negeri ini. Kurangnya lahan, tekanan ekonomi yang basar dan tidak dilibatkanyamasyarakat dalam mengelola hutan meyebabkan keinginan untuk masuk dan mengekploitasi hutan menjadi tak terelakan. Adanya UU tentang otonomi daerah tahun 1999, menjadi angin segar buat pemda. Dengan adanya UU ini maka pemerintah daerah mempunyai kekuasaan penuh dalam mengelola daerahnya, termasuk mengelola hutan. Ide ini telah berjalan di Yogyakarta yaitu di kabupaten gunung kidul dan kulon progo. Pengelolaan di 2 kabupaten ini telah terdesentralisasi dengan baik. Sebagai gambaran hutan yang ada di kulon progo terdiri atas hutan pemerintah dan hutan swadaya masyarakat. Luas hutan ini sekitar 1,7% dari luas wilayah kabupaten kulon progo. Hutan Negara di Indonesia pada umumnya telah kritis, termasuk juga hutan Negara di kulon progo. Kritisnya hutan ini disinyalir karena kurangya perhatian dari pemerintah disamping karena prilaku masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan. Kawasan hutan ini sebenarnya telah menjadi hutan produksi dan huta lindung. Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah kerusakan hutan di wilayah ini, karena itu model hutan kolaboratif berbasis masyarakat merupakan tawaran solusi yang baik dalam upaya penyelesaian maslah kerusakan hutan yang terjadi. Sebenarnya konsep ini telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Adanya istilah wewengkon adalah contoh betapa seharusnya pemerintah bersifat adil dalam mengelola hutan dan sumber daya alam untuk mensejahterakan masyarakatnya. Secara umum kegiatan hutan desa terbagi menjadi 4 yaitu:

    Pendampingan, yaitu pemberdayaan masyarakat dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya tanpa menghilangkan kearifan budaya local daerah tersebut.
    Advokasi kebijakan dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum bagi masyarakat mengenai izin mengelola hutan dan lain sebagainya.
    Penelitian dilakukan untuk mendorong proses pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan secara partisifatif.
    Pengembangan pusat informasi.

TANGGAPAN
Sebenarnya menurut saya kerusakan hutan dinegara ini penyebabnya ya kurangya kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengelola hutan dengan baik. Disatu sisi masyarakat masih sangat tergantung dengan sumberdaya hutan dan disisi lain pemerintah dengan segala kewenanganya mengeksploitasi hutan ini tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya. Maka dengan adanya hutan hutan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaanya ini menjadi solusi yang bagus karena disini masyarakat akan terlibat secara langsung dalam pengelolaan hutan sehingga diharapkan kesadaran tentang pentingnya hutan timbul karena adanya hubungan langsung antara masyarakat dengan hutan. Manfaat lain pemerintah akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya karena hasil hutan akan kembali ke masyarakat lagi. Jadi disamping kerusakan hutan akan terkurangi karena akan langsung tertangani sebelum menyebar, pemerintah juga akan tetap memperoleh manfaat hutan ini berupa suberdaya alam yang mampu termanfaatkan.



BAB III

Penutup


    A. Kesimpulan

Hutan lindung sebagai salah satu sumber daya alam yang berperan menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia yang saat ini cenderung menurun keberadaannya. Perambahan dan pembalakan liar (illegal logging) terjadi di mana-mana dan menyebabkan kerusakan hutan yang tidak terkendali. Akibatnya bencana alam seperti banjir, tanah longsor sudah menjadi langganan pada musim hujan tiba yang tidak jarang menelan korban ratusan jiwa masyarakat yang tidak berdosa. Ironisnya, banyak pihak termasuk pemerintah selalu menyalahkan dan bahkan menuduh masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai penyebab utama kerusakan hutan.

Tuduhan ini sangat tidak beralasan, apalagi jika dilihat secara dekat kondisi kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan, seperti kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Rogo Jampi yang sebagian besar (78%) dalam kondisi miskin dan tidak berdaya. Kondisi inilah perlu dipahami dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan penyusunan program, agar setiap kebijakan dan program tentang pengaturan pengelolaan hutan yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.

Paradigma perencanaan pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat yang sentralistik yaitu program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat harus diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal.

Anggapan sebagian elit bahwa untuk mencapai efisiensi pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, serta solusi pemecahannya, harus diubah bahwa setiap individu memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan masyarakatlah yang paling mengetahui dan mengenal potensi dan permasalahan yang mereka hadapi.

Perencanaan sentralistik dan anggapan bahwa masyarakat tidak mampu menganalisis dan merumuskan permasalahannya, disinyalir merupakan salah satu penyebab kegagalan program pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

B. Saran.
Dalam penulisan ini harus didasarkan intisari dari penelitian ilmiah itu sendiri, dan tidak boleh melenceng dari itu. Untuk kutipan, sebaiknya tidak terlalu banyak kutipan-kutipan yang berlebihan serta memerhatikan cara penulisan itu sendiri.






























Daftar Pustaka

·         www.google.co.id

1 komentar:

  1. Artikel yg bagus. Mari kita hijaukan kembali bumi kita.
    http://indro-pct.blogspot.com/2013/02/mari-lakukan-penghijauan-untuk-bumi-kita.html

    BalasHapus